Pada Suatu Malam…

‘Mau lewat lift atau eskalator, nih?’

Perempuan itu mengalihkan pembicaraan tepat ketika saya melihat betapa banyaknya antrian manusia yang menunggu di depan lift. Tak hanya itu, eskalator dan lampu-lampu di Jogja City Mall (JCM) malam itu pun juga sudah dimatikan karena waktu telah menunjukkan jam sepuluh lewatnya tiga puluh menit.

Saya berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang pilihan yang perempuan itu ajukan. Sampai akhirnya, sembari menghela nafas panjang, saya membelokkan langkah kaki menuju ke arah eskalator yang telah mati.

‘Eskalator aja, yuk’ ucap saya pelan seraya berharap semoga pilihan yang telah saya pilih tidak memberatkannya.

‘Yeee, tau gitu aku nggak usah nanya’ Dia menggelengkan kepala sembari menunjukkan senyum tipisnya. Kami pun tertawa bersama, lalu kembali melanjutkan pembicaraan yang tadi terpotong beberapa saat.

Sekitar 2 jam yang lalu, kami baru saja masuk studio 21 untuk menonton sebuah film bergenre ngaget-ngagetin yang berjudul A Quiet Place. Hampir selama 1.5 jam di dalam studio, saya tidak henti-hentinya menahan dan bersiap untuk kaget yang diselingi oleh umpatan nggak karuan. Disebelah saya, perempuan itu juga sesekali mencoba mengatur ritme nafasnya pelan, seolah sedang mempersiapkan diri atas kejutan-kejutan apa yang kelak akan dia dapatkan.

Film selesai, kami pun berjalan keluar studio sembari masih mencoba berdiskusi perihal bagian-bagian mana yang menurut kami paling mencekam. Untuk saya pribadi, jelas, adegan yang paling nggak bisa saya tolerir adalah ketika ibuk dari pemeran utamanya (Emily Bunt) menginjak paku yang tertancap di tangga. Sumpah deh, bagi saya pribadi, itu jelas merupakan momen yang dampaknya seperti langsung mengenai diri saya. Nggak ngerti lagi deh betapa ngilunya itu kaki.

Sementara untuk perempuan itu, part yang paling mengganggunya tentu bagian dimana si ibuk (masih Emily Bunt) yang dengan bersusah payah mencoba untuk lahiran di bak mandi sembari mencoba untuk menahan adanya suara yang keluar. Emm, suwer ya, mencoba lahiran tapi tidak ngeden dan tidak berbunyi owek-owek di akhir tentu  tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah proses lahiran bukan? Untung petasan yang dinyalakan sang anak menyala tepat waktu.

A-Quiet-Place-review-featured

Source : nerdist.com

Disela-sela perdebatan mengenai bagian terkampret dari film A Quiet Place, kami pun sepakat untuk memberikan rating A Quiet Place pada angka 8. Alasannya tentu berbeda. Saya pribadi memberi nilai 8 karena memang ada sesuatu yang kurang dari A Quiet Place seperti misal darimana datangnya monster pembacok orang itu, dan betapa nggantungnya ending dari film tersebut. Sementara untuk perempuan itu, bagian yang membuat dia mengurangi angka 2 pada ratingnya adalah karena dia tidak suka alien.

Itu saja.

Baik.

Sebuah perbedaan yang amat sangat ya udahlah ya.

Kami pun berjalan menjajaki eskalator JCM yang mati dan nyala lampu yang redup. Orang-orang lain terlihat tergesa-gesa untuk segera keluar dari mall dan pulang. Sementara itu, saya jelas mencoba untuk tetap tenang sembari menikmati momen-momen langka bersama perempuan ini. Sedangkan si perempuan itu, entahlah, saya tidak pernah bisa membaca apa yang dirasakan oleh orang lain karena saya bukan Roy Kiyosih.

‘Jadi, sebenernya kamu itu se-heartless apa sih?’

Untuk sebagian orang, mungkin pertanyaan yang saya ajukan kepada seorang perempuan itu merupakan pertanyaan yang apaan banget sih maksudnya. Tapi untuk memperjelas semuanya, mari saya tunjukan bagaimana awal pertemuan ini dimulai dan bagaimana proses yang terjadi sehingga saya merasa berani untuk mengutarakan pertanyaan demikian.

perempuan heartless

Source : pinterest.com

Perempuan itu bernama Lana.

Emm…

Awkay, saya memang tidak pandai dalam memilih nama samaran yang tepat untuk menamai orang yang begitu mengagumkan buat saya. Jadi, sepertinya tidak ada salahnya juga ya saya memilih nama Lana untuk perempuan ini.

Bebas kan?

Baik.

Pertama kali saya tau akan sosok Lana ini adalah pada tahun 2017, tepatnya pada 17 September. Kala itu, Brilio (salah satu web penyedia konten-konten bacaan yang mencerdaskan kehidupan bangsa) sedang mengadakan acara mengenai tips-tips kepenulisan di Jogja. Kebetulan, saya mendapat kesempatan untuk hadir di acara tersebut dan dengan riang gembira mengikuti rentetan acara secara serius. Sampai akhirnya, disaat saya sedang mencoba fokus untuk mencerna materi yang disampaikan oleh pihak Brilio, tiba-tiba saja mata saya teralihkan untuk menoleh ke tempat duduk pojok depan sebelah kanan. Disitu, saya melihat ada sesosok perempuan yang cukup menarik hati untuk terus dipandang. Saya pun memperhatikannya berulang kali dengan porsi yang rata : sesekali fokus pada materi yang disampaikan pembicara, pun sesekali leher saya menengok ke arah kanan depan hanya untuk melihat perempuan itu.

Ya, tentu saja perempuan yang saya lihat itu adalah Lana. Tidak mungkin Rustam. Lagian, mana ada perempuan bernama Rustam?

Terus,

RUSTAM ITU JUGA SIAPA YA, BUSET?

Acara Brilio berlangsung sekitar kurang lebih berapa jam ya? Lupa. Kalau tidak salah dimulai pukul 12.00 dan berakhir sekitar Maghriban gitu deh. Jadi yah, 6 jam-an lah ya. Hore, tidak jadi lupa. Seselesainya acara Brilio itu, ada rasa yang sedikit mengganggu perasaan saya karena hingga langkah saya meninggalkan kantor Brilio, saya tidak sedikitpun tau perihal nama si perempuan yang sedari tadi saya lihat di tempat duduk pojok depan sebelah kanan.

Nyesel rasanya.

Sesampainya di rumah, saya langsung mainan twitter. Saat saya sedang menyecroll timeline twitter yang berisi tentang berita dan curhat nakanak masa kini, otak saya pun mulai menunjukkan fungsinya dengan baik. Otak saya membawa saya pada ingatan bahwa siang tadi, pihak Brilio mewajibkan peserta yang hadir untuk livetweet dengan hastag yang telah ditentukan. Merasa bahwa perempuan itu pasti ikutan ngetweet, saya pun mencoba untuk mencari dan mencari perihal akun twitter dari perempuan tersebut melalui hastag yang tadi siang ditentukan oleh Brilio.

Scroll satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Dan, yak.

Saya menemukan akun dengan nama @Lanastasyar di kolom pencarian hastag yang telah saya ketikkan.

Oke.

Sekali lagi, saya memang goblok dalam mencari nama samaran. Lanastasyar itu nama apaan lagi bangsat?

Tapi, sudahlah. Mari kita lanjutkan.

Dibagian top search, akun @Lanastasyar mencuitkan perihal informasi bahwa pengisi acara Brilio siang tadi, yaitu AgusMagelangan, merupakan sosok yang lucu. Melihat twit tersebut, saya pun langsung sok kenal dan menyambar :

‘Haha, AgusMagelangan emang lucu loh. Ini akunnya : @AgusMagelangan’

Selesai menimpal, saya langsung melihat profil picturenya. Manis, dengan rambut pendek tergerai sebahu. Eh tidak sebahu, agak ke atas sedikit. Sekuping. Emm… tapi nggak sekuping. Pokoknya diantara bahu dan kuping deh.

Tanpa ragu, saya pun langsung menekan tombol follow untuk kemudian melakukan misi-misi rahasia di lain waktu. Meski dunia seharusnya tau, misi rahasia itu tidak akan membawa saya kemana-mana, dan pada akhirnya, ya benar saja, saya hanya bisa menikmati geliat twit yang Lana cuitkan jarang-jarang. Hanya melihat saja, tanpa ada sedikitpun keberanian untuk menimpal.

Tahun 2017 bergulir, dan membawa semua umat manusia berpindah ke tahun 2018. Di awal tahun ini, saya mengikuti ajang penulisan yang bernamakan 30HariBercerita. Saat sedang mengikuti ajang tersebut, saya merasa sangat beruntung karena beberapa tulisan saya sempat diregram dan diposting ulang oleh akun 30HariBercerita. Nah, dari situlah akhirnya saya menemukan sosok Lana di Instagram.

Saat itu saya masih ingat, komentar yang dia ucapkan ketika melihat tulisan saya adalah :

‘Ini anak koplaknya sama aja kayak di twitter ya’

WAW.

Saya pun langsung mengeklik tombol follow di instagram Lana sembari senyum-senyum sendiri mendapati kenyataan bahwa dia sedikit menotice diri saya. Ada rasa yang bagaimana gitu saat melihat instagramnya. Saya sempat melihat beberapa postingan Lana yang telah lalu, dan masih terlalu kagum untuk melihat paras yang tahun lalu saya lihat di tempat duduk pojok depan sebelah kanan ketika acara Brilio berlangsung.

Januari bergulir dengan apa adanya. Angka demi angka beranjak dari yang terkecil hingga yang terbesar. Beberapa kali, hampir setiap angka yang berganti di bulan Januari, postingan dari Lana tentang 30haribercerita senantiasa saya ikuti.

Ada satu cerita yang menurut saya sangat manis untuk dibaca dan pada kala itu akhirnya di regram oleh akun 30HariBercerita. Disana, dia menulis perihal sosok orang yang mencintai penulis harus rela hidup selamanya dalam tulisan si penulis. Demikian, dan saya akui itu benar. Kadar kekaguman saya akan bagaimana dirinya dari luar pun makin bertambah melalui tulisan-tulisannya. Meski belum bertemu, dia keren juga ya.

xxxxx

‘Hmm… se-heartless apa? Susah sih ngejelasinnya juga’

Kembali ke percakapan saat menuju jalan pulang menyusuri eskalator yang telah dimatikan, dia menjawab demikian. Saya menggeleng-geleng kepala, mencoba berpikir perihal apa dan bagaimana kata yang tepat agar pertanyaan saya bisa dengan mudah dia jawab.

‘Errr… ya, maksudnya, kok kamu se-heartless itu loh sampai skeptis sama sosok laki-laki?’

Dengan hati-hati, saya mengajukan pertanyaan demikian. Bagi saya sih, sungguh sangat disayangkan ketika ada sosok wanita berparas manis yang kemudian merasa enggan untuk menerima lelaki masuk di hatinya, hanya karena dia merasa patah atas masalalunya.

‘Aku habis putus sama pacarku soalnya’

Saya menghentikan langkah sejenak saat mendengar jawaban tersebut. Ada beberapa titik kejut yang membuat saya berasa harus menahan diri untuk tidak berucap berulang kali dengan kalimat : ‘Sumpe lo? Sumpe lo? Sumpe lo?’. Belum sempat saya merespon dengan kalimat, dia pun melanjutkan kalimatnya.

‘Mana habis itu temen geng SMP-ku nembak lagi. Kan gimana ya?’

Dua kali kejutan saya dapatkan malam itu. Di penghujung eskalator yang telah mati, di redup buramnya gedung JCM malam itu, di derap langkah yang acap kali terdengar berketuk-ketuk, saya masih mencoba bertanya-tanya pada diri sendiri. Sampai pada ujungnya, saya memberanikan diri untuk mengeluarkan segala pertanyaan yang sempat tertahan.

‘Sebentar, sebentar.’ Saya mengambil jeda sejenak ‘Kamu habis putus sama pacarmu?’

‘Iya’ Jawabnya pelan.

‘Sejak kapan?’ Saya masih merasa syok dan penasaran.

‘Seminggu yang lalu deh kayaknya’ Jawabnya sembari menerawang langit-langit.

Titik kejut ketiga saya dapatkan malam itu. Ada rasa heran yang saya rasakan saat mencoba menyambungkan satu demi satu hal yang telah terjadi. Ada rasa sedikit canggung yang seketika saya rasakan. Pasalnya, selama sebulan sebelum ini, saya sudah 2 kali menemui Lana, dan pertemuan kami yang pertama kali terjalin tepat satu bulan yang lalu di Kedai Kopi Mataram. Diiringi oleh sahut-sahutan suara motor yang menyala di basement JCM, pikiran saya memutar ulang menuju momen di Kedai Kopi Mataram sebulan yang lalu.

Saya duduk berhadapan dengan Lana yang mengenakan baju berkerah lengan pendek lengkap dengan tas ransel yang dia bawa sepulang kerja. Wajah yang dia pamerkan saat pertama kali bertemu saya tidak jauh berbeda dengan wajah-wajah yang senantiasa dia tampilkan di layar instagram ataupun profil picture twitter. Tipikal perempuan natural, tanpa ribet-ribet berdandan. Hanya saja, mungkin malam itu wajahnya sedikit tersentuh oleh rasa lelah.

Berhiaskan redupnya lampu yang menyala di Kedai Kopi Mataram, kami membahas hal-hal secara meluas perihal hidup, kerja, kuliah, tulisan dan juga buku bacaan. Di obrolan malam itu pun, saya sempat membahas masalah heartless yang pernah dia utarakan di kolom komentar instagram. Saat saya tanya kenapa, jawaban yang keluar dari mulutnya adalah :

‘Iya, soalnya Aku terlalu sering patah sih’

Sebuah jawaban yang sungguh tidak terduga karena awalnya saya kira Lana bukan tipikal orang yang pandai membuka hati. Asumsi saya perihal heartless yang bermakna susah membuka hati sejak lama pun terpatahkan.

‘Kamu pernah pacaran?’ Tanya saya penasaran.

‘Ya pernahlah. Sedari SMP aku pacarannya. Soalnya dulu ibukku pernah bilang kalau orang pacaran itu bisa bikin cantik. Jadi, ya udah aku pacaran. Hahahak’

Mendengar jawaban itu, saya langsung ikut tertawa. Sebuah pilihan untuk memilih pacaran dengan cara yang cukup lucu : karena orang tua.

Mendengar jawaban dari Lana itu, saya pun kemudian berasumsi bahwa mungkin dahulunya Lana merupakan sosok perempuan yang pernah mudah ceria, mudah bahagia, dan yang lain-lainnya. Sampai kemudian, patah hati pun mengubahnya menjadi sosok yang dingin, cuek, dan heartless.

Mmm… Mungkin, sebagai orang baru yang mulai berani meriset sosok orang yang hendak didekati, saya bisa dibilang masih terlalu asal dalam menarik kesimpulan. Tapi, justru karena itulah akhirnya saya tidak pernah berhenti berpikir tentang bagaimana sebenarnya ‘isi’ dari sosok Lana ini. Bahkan hingga pertemuan pertama itu berakhir, saya masih terus memikirkan dirinya.

Ya, hampir setiap waktu, sesaat pertemuan pertama itu, saya sesekali membuka tutup aplikasi whatsapp hanya untuk menimbang-nimbang, apakah kira-kira saya pantas untuk mengirimkan pesan kepada Lana?

Itu saja.

Dilengkapi dengan hasrat yang barapi-api. Diiringi oleh rasa sepi yang ingin ditemani. Diikuti oleh besarnya rasa ingin tau. Saya pun menahan semua itu.

xxxxx

‘Sebentar’ Ucap saya mencoba menahan titik kejut yang saya rasakan secara berulang malam itu. ‘Jadi, pertama kali kita ketemu di Kedai Kopi itu kamu sudah punya pacar?’ Sekali lagi, saya mencoba memastikan ucapan yang baru saja dia haturkan dan tiba-tiba saya dengar.

‘Iya’ Jawabnya datar.

Saya masih menggeleng-geleng kepala tanda tidak percaya. Lalu-lalang manusia yang riuh-rendah berjejalan melewati kami yang baru saja sampai dan sedang duduk di bawah pepohonan Jalan Mangkubumi pun senantiasa menjadi figuran. Saya adalah pemeran utama yang sedang dalam masa kritis. Sementara ucapan Lana adalah pemeran antagonis yang membuat saya tidak jua berhenti menangis.

laki-laki menangis

Source : kapetiga.com

‘Aku pikir, kamu malah sudah lama nggak pacaran gara-gara sering disakiti cowok, loh’ Saya pun mengeluarkan asumsi yang selama ini tersimpan di kepala.

Dia menggeleng. Bibirnya dia lengkungkan sedikit ke atas. Ada raut wajah bersinar terpancar disana. Untuk ukuran perempuan yang menyebut dirinya heartless, Lana sungguh terlalu cantik untuk disakiti oleh cowok-cowok brengsek di luar sana. Tanpa bermaksud memberi anggapan bahwa perempuan yang kurang cantiklah yang layak disakiti, tapi bagi saya, setiap perempuan memiliki sisi kecantikannya sendiri dan mereka layak untuk dihargai tanpa disakiti.

‘Tapi di pertemuan kedua kita dulu, kamu kayak menepis anggapan tentang cinta, pernikahan, dan hubungan gitu-gitu, loh.’ Saya mencoba memutar ulang memory beberapa minggu lalu tentang pertemuan kedua kami.

Ya, pada akhirnya, setelah cukup lama saya menahan-nahan hasrat untuk tidak menganggunya dengan mengirim pesan, tiba-tiba dia mengirim pesan ke saya perihal apakah ajakan saya untuk menonton standupcomedy di pertemuan pertama akan direalisasikan atau tidak.

Jelas saja, saat membaca pesan tersebut, seketika saya langsung mengkonfirmasi bahwa ajakan saya itu akan direalisasikan dan dia harus bersiap-siap pada hari H untuk ajakan tersebut. Itu saja. Ada perasaan senang yang bergejolak, ada perasaan takut yang tiba-tiba hadir, ada perasaan ragu yang seketika muncul.

Pada hari H, kami berdua pun bertemu untuk kedua kalinya. Dengan cuaca yang cukup mendung dan bekas jejalanan yang basah karena gerimis beberapa menit lalu, saya menjemput dia di kostnya lalu melaju cepat menuju tempat diadakannya acara.

Tak beberapa lama, kami sudah sampai ke tempat diadakannya acara stand up comedy. Saat sedang menunggu open gate, saya memberikan dia satu buah buku yang satu minggu lalu saya selesaikan, dan beberapa waktu lalu juga sempat dia bilang ingin pinjam.

Saya meminjamkannya dengan senang hati karena buku itu yang kelak akan membawa saya pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Saat acara stand up comedy dimulai, kami pun duduk untuk sama-sama saling diam menikmati acara. Ada jeda beberapa saat untuk kami bicara, ada tawa menggelegar yang memecahkan semuanya, ada rasa dingin yang hadir dari mesin ac di kiri atas saya, ada ruang untuk saya bahagia, ada hal yang tiba-tiba lepas begitu saja. Malam itu, saya cukup menikmatinya.

Komika-komika yang mengisi di acara malam itu bisa dibilang sebagai komika senior Jogja. Mereka adalah dedengkot-dedengkot standupindojogja yang mana tentu materi-materi yang mereka sampaikan cukup berwarna dan berkelas.

Tidak banyak orang tau, -dan tentu peduli, disela-sela menikmati materi yang disampaikan oleh si komika, saya sesekali melirik ke arah kanan. Melihat Lana berbalutkan jaket hitam tebal yang senyum tawanya senantiasa terpancar indah di wajahnya. Ada beberapa bagian yang membuat saya ingin bertanya perihal heartless-nya, yaitu ketika ada komika yang membahas perihal cinta dan bullshit, dia mengangguk-ngangguk sepakat. Ada komika yang membahas perihal hubungan dan sakit hati, dia pun mengangguk sepakat. Yang paling saya ingat, ada komika yang melontarkan materi begini :

‘Saya tidak terlalu tertarik untuk menikah ya. Pasalnya, menikah itu bikin seks jadi semacam meditasi, bukan selingan untuk melepas nikmat berdua’

Lana pun mendengarkan dengan seksama dan mengangguk-ngangguk sepakat. Hal yang tentu membuat saya berspekulasi sendiri, sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya ke Lana.

‘Kamu sepakat sama materi komika barusan? Nggak tertarik menikah?’

Saat itu, dia hanya menjawab begini :

‘Eng, masih belum mau sih. Nggak ada target. Soalnya gimana ya, aku lihat teman-temanku itu pada bisa dengan mudah mengamini untuk menikah sama pacarnya gitu, tapi kalau aku kok ngga bisa gitu yaaa. Why? Kenapa aku begini amat haha’

Saya ikut tertawa mendengar penjelasan yang dia jabarkan.

Pertemuan kedua kami pun berakhir sekitar pukul 10.30 WIB, 2 jam lebih malam dari pertemuan sebelumnya. Saya meninggalkan dia di depan gerbang kostnya, dan di pertengahan perjalanan, pesan dari dia masuk di handphone saya berisikan tulisan manis :

‘nanti kalau sudah sampai rumah, kabarin ya’.

Sebuah pesan yang pada akhirnya membuat senyum saya melebar. Sebuah pesan yang membuat saya sulit tidur semalaman.

membaca pesan dari gebetan

Source : Hipwee.com

xxxxx

‘Iya, waktu itu aku sama pacarku sudah tidak kondusif sih. Berantem mulu. Kami emang kayak nggak pacaran kok modelnya. LDR, dia di Kalimantan sana dan aku di Jogja’

Lana menjawab dengan pandangan lurus ke depan menatap beberapa kendaraan yang lalu lalang. Sebuah jawaban yang membuat saya merasa canggung dan tidak enakan. Saya melihat wajahnya, masih manis meski kantung sudah mulai muncul di bagian bawah matanya.

‘Aku jadi nggak enakan nih sama kamu. Nggak tau kondisi hatimu gimana, eh tau-tau kemarin minta izin buat ngejar kamu’

Saya berucap jujur perihal apa yang saya rasakan malam itu. Perasaan canggung yang tak tau lagi gimana cara menggambarkannya. Tentang ketidak enakan yang tiba-tiba saya rasakan perihal beberapa hari lalu, hanya karena sudah merasa sulit untuk menahan diri tuk diam-diam, saya langsung mengirim pesan ke Lana guna meminta izin untuk ‘mengejar’nya.

Saat itu, dia pun mengizinkan tanpa sedikitpun memberikan spoiler perihal hatinya. Jadi atas alasan diberi izin itu, saya ya gas pol saja tho ya? Lagipula, ya namanya kan usaha.

‘Nggakpapa, kok. Lagian kan, kamu minta izinnya juga pas aku sudah putus. Toh, resiko ditanggung sendiri kan ya? Haha’

Mendengar jawaban itu, saya tersenyum sedikit. Mata saya mencari-cari celah untuk melihat sekitar tempat duduk. Ada sekumpulan orang yang sedang berkumpul sembari menyeduh kopi yang dijual keliling oleh mas-mas nggak tau siapa namanya. Ada sepasang kekasih yang sedang duduk di seberang kami. Ada sekumpulan pengamen yang sedang mencoba berjalan ke arah kami, tapi secepat kilat langsung segera saya tepis dengan lambaian tangan. Banyak hal di sekitar kami saat itu. Tapi kemudian, saya kembali fokus atas diri saya. Atas apa tujuan saya untuk kembali menemui Lana : mencoba mengulik sedikit tentangnya perihal kisah-kisah cinta yang kelak akan dia jalani.

‘Kamu lagi ada yang ngejar juga nggak selain aku?’

Kalimat itu keluar dari mulut saya begitu saja. Ada rasa penasaran yang membuat gejolak saya memuncak saat itu. Bagi saya, untuk ukuran perempuan semanis Lana, tidak mungkin jika tidak ada satu atau dua bahkan tiga laki-laki yang mencoba mendekatinya.

Di pertemuan pertama dan kedua kemarin, bahkan di media-media sosial tempat saya mengamati dalam diam, saya tidak pernah membahas perihal cinta atau hubungan sedikitpun. Maka, khusus untuk pertemuan ini, saya mencoba mengulik sebanyak mungkin perihal perasaan, cinta, dan hubungannya.

‘Ngejar?’ Tanyanya sejenak sembari dia menerawang langit malam ‘Kayaknya yang keliatan ngejar baru kamu deh. Tapi, ada satu orang sih yang deket, nggak tau dia ngejar atau enggak’

Saya sedikit tertegun mendengar jawabannya itu, tapi saya mencoba untuk tenang dan merespon biasa saja.

‘Haha, wajar sih berarti. Sisanya, mungkin belum ketahuan. Bisa aja ada yang mengejar dalam diam, atau apalah itu namanya. Cara orang mengejar atau mengagumi kan beda-beda ya’

‘Iya, sih. Eh tapi sejujurnya, aku masih kesel deh sama temen geng SMPku yang kemarin nembak aku’

Lana mencoba membelokkan saya sejenak pada jalur ceritanya perihal momen dimana dia ditembak oleh teman SMPnya.

Sejujurnya, saat Lana kembali mengucapkan kalimat demikian, saya masih merasa kaget dan tidak kaget sih. Tidak kagetnya karena, ya sekali lagi, untuk ukuran perempuan seperti Lana, sangat tidak mungkin jika tidak ada yang menyukainya. Tapi untuk kagetnya, ya masa dia baru saja putus eh tau-tau sudah ada yang nembak. Bagi saya, itu mengagetkan sih mengingat apakah si temen SMPnya dia tidak meriset dulu perihal hubungan Lana?

‘Errr… itu temen geng SMPmu nggak tau kalau kamu habis putus?’ tanya saya penasaran.

‘Tau kok. Ya namanya juga temen geng SMP kan? Jadi ceritanya dia itu jauh-jauh dari Purwokerto ke Jogja cuma buat nembak gitu. Nembaknya pake puisi gitu pula.’

Kaget saya berlipat dua saat itu. Maksudnya, saya sangat salut sih untuk seorang lelaki atau siapapun itu yang kayak berani untuk bertindak gila dan romantis gitu-gitu. Jauh-jauh dari Purwokerto ke Jogja, buat nembak cewek yang dia suka dari SMP, dengan secarik tulisan puisi pula… beuh, bagi saya itu sudah so sweet parah sih. Saya nggak pernah bisa memberikan perlakuan begitu ke perempuan yang saya suka. Mentok-mentok paling ngasih cokelat yang saya selipin diam-diam ke dalam tas perempuan idaman, itupun terakhir saya lakuin saat SD. Itupun kuadrat, cokelatnya akhirnya saya ambil lagi gara-gara saya terlalu malu.

Begok emang sayanya.

‘Terus, kamu gimana?’ Tanya saya masih kaget dan penasaran.

‘Ya aku tolak. Kondisiku masih begini, ditambah lagi, ya apaan ya? Kan temen geng SMP, masa suka-suka gitu. Aneh aja menurutku.

Mendengar jawaban yang dipaparkan Lana, saya mengangguk mengerti sembari mencoba membatin dalam hati :

‘Itu alasan kenapa saya izin pengen ngejar, karena setiap perkenalan, kita akan tau dimana ujungnya : rasa suka.’

Selepas pembahasan tentang ditembaknya Lana oleh teman geng SMPnya, kami pun bergerilya dengan cerita-cerita masa lampau tentang dia. Saya beberapa kali izin untuk menguliknya, dan dia beberapa kali mengizinkan. Tanpa bermaksud membawa dia pada memory masa kelamnya, tapi untuk tau, apa-apa saja yang pada akhirnya membuat dia menamai dirinya sebagai seorang heartless.

Dia cerita bahwa dia pernah memaksakan diri untuk jadian dengan kakak angkatannya, hanya karena si kakak angkatan ini telah memberikan kesan yang teramat sangat dalam saat mencoba menembaknya. Bayangin, si kakak angkatan ini nembaknya pake bunga, lilin berbentuk love di taman deket fisipol UGM, mata Lana ditutupi secarik kain perca hitam oleh teman-temannya, dan saat ikat kain itu dibuka…

kejutan romantis saat nembak cewek

Source : Kitamuda.id

WALAAAA, DELISISIMO~

Rame nggak tuh?

Berkesan banget nggak tuh?

Tapi akhirnya, ya sama aja.

Kesan, perjuangan romantis, pengorbanan, dan beberapa hal yang diusahakan pada akhirnya hanya akan berujung apresiasi. Memaksakan diri untuk menerima dengan anggapan :

‘mmm, dicoba deh. Dia juga sudah usaha’.

Berhasil? Nggak juga. Kasihan malah jadinya.

Di sesi yang lain, dia pernah bercerita bahwa dia pernah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya dengan seorang lelaki yang (mohon maaf banget nih) katanya sih jelek. Alasan kenapa dia jatuh cinta adalah karena satu hal : nyaman.

Bagi saya, -dan mungkin lainnya, rasa nyaman dan nyambung adalah point utama yang mendasari rasa suka tiba-tiba hadir. Terlepas dari tampang yang rupawan, dari harta yang bergelimang, atau dari gaya yang berwibawa, tetap sih, rasa nyaman dan nyambung tetap menjadi point utama untuk seseorang bisa memunculkan rasa sukanya.

Itu.

Disela-sela bicara perihal nyaman dan nyambung itu, tiba-tiba Lana berucap dengan penuh rasa semangat.

‘Bicara masalah nyaman, aku sama cowok yang kubilang lagi deket sama aku ini nyambung banget loh kalau lagi ngobrol gitu’

Sebuah kalimat yang tentu membuat sudut terbesar dalam hati saya meronta-ronta. Saya tersenyum, menahan diri untuk bicara, tapi akhirnya keluar juga kalimat sok tegar-sok tegar yang mengiringi saya pada titik terhancur.

‘Oh ya? Waaa, kalau sudah nyambung gitu mah enak ya’

‘Iya, kami ngobrol apa aja jadi kayak nemu obrolan-obrolan baru lainnya. Kayak masalah buku, musik, kopi, dan lain-lain. Semua ngalir aja gitu. Kayak, ya bikin nyaman banget’

Untuk kesekian kalinya, saya hanya bisa tersenyum sembari melihat jejalanan yang mulai sepi kendaraan yang berlalu lalang. Pandangan saya lurus ke depan, tapi sebenarnya tidak kemana-mana. Kosong. Berhambur bersama perasaan yang mencoba untuk melebur.

‘Ya, kalau sudah gitu mah, tinggal ngalir aja sih nanti. Jalanin terus, siapa tau bener-bener bisa saling menyamankan toh ya?’

Saya bingung lagi untuk menimpali ceritanya dengan kalimat yang gimana. Tidak ada hal yang bisa saya tutup-tutupi kala itu. Sampai akhirnya, Lana meminta untuk diantarkan pulang. Saya mengiyakan dan segera berjalan menuju tempat dimana motor saya diparkirkan.

Di jalanan, saya kembali membahas perihal nyaman dan nyambung itu. Saya bicara jujur perihal diri saya yang mencoba untuk bisa membuat dia nyaman, tapi pada dasarnya, saya tidak bisa melihat sisi nyaman yang terlihat dari dirinya. Ngobrol pun, tidak selalu nyambung. Ada dominasi yang saya lakukan saat bicara, yang mungkin membuat dia menjadi pendengar yang merasa bosan.

‘Nyambung dan bikin nyaman itu kayak hal yang sulit dipelajarin sih. Dan menurutku, kayaknya setiap orang pasti punya sosok yang bisa bikin nyambung dan menyamankan’

Saya berucap demikian, hanya untuk mencoba menenangkan hati saya yang nggak karuan.

‘Iya, bener. Makanya, Feb. Nggak usah ngejar aku kalik. Coba ngejar yang lain juga’

Lana menjawab dengan nada yang sangat datar.

Sebuah jawaban yang saya tau apa pointnya, dan akhirnya  membuat saya menutup mulut sepanjang perjalanan pulang. Menyusuri meter demi meter jalan dengan hening. Berhias cahaya visual tanpa suara yang berarti. Bersenandungkan suara knalpot motor yang berdengung samar.

‘setiap orang memang memiliki sosok yang bisa bikin nyambung dan menyamankan. Tapi sedihnya, orang yang membuat kita nyaman dan nyambung, belum tentu merasa demikian kepada kita’

Saya menggumamkan kalimat itu di dalam hati. Memosisikan diri sebagai orang yang bisa dibuat nyaman dan nyambung, tapi tidak bisa menyamankan dan menyambungkan Lana. Hingga pada waktunya, kami sampai dan berhenti di depan kost Lana, dia mengembalikan sebuah buku yang beberapa hari lalu dia pinjam.

‘Makasih ya, bukunya? Kusampulin loh, bukunya. Ehehe’

Saya mengangguk dan menerimanya dengan senyum. Sembari memanuver motor untuk menuju ke arah pulang, saya memegang buku bersampul itu dengan erat. Malam itu, diawali dengan ucapan terimakasih dan saling melempar senyum, kami pun mengakhirinya dengan sebuah perpisahan.

Selama di jalan pulang, saya mengendarai motor dengan pelan. Tangan kanan saya memutar gas, sementara tangan kiri saya memegang buku yang tadi Lana berikan. Buku yang berhari-hari lalu mungkin dia pegang dengan erat. Buku yang membuat saya seolah sedang menyentuh tangannya menuju pulang. Buku yang membuat saya paham bahwa saya tidak bisa memegangnya, tapi hanya bisa memegang bekas pori-pori tangannya.

photo-26625

Source : Pxhere.com

Malam itu, diselimuti oleh dinginnya angin malam, ditemani lampu jalan yang menyala jingga, dihiaskan langit bertabur bintang-bintang… tidak ada lagi pesan bernada manis yang terpampang di layar. Tidak ada pesan menenangkan yang membuat saya sulit tidur semalaman. Hingga di hari-hari berikutnya, tidak ada sesuatu yang membuat kami harus bertemu. Tidak ada buku yang harus dia kembalikan. Tidak ada janji yang harus ditepati. Tidak ada ajakan yang harus direalisasikan. Tidak ada sesuatu yang layak untuk dipaksakan.

Terimakasih.

34 comments

    1. Eheheh, terimakasih banyak sekali ya atas apresiasinya 😀 wgwgw jadi tidak sia-sia nulis 2 minggu dan mengedit berkali-kali 😀

      Hahahah lagu afgan yang mana niiiih? Wgwgw

  1. Waaa aku baca per kata sampai rampung. Sebuah pelajaran untuk mencari tauu duluu sebelum maju. Eh tapi kalau nggak pernah dipost di medsos dan diceritakan ya ga tau sih 🙂 huhu
    Tapii pada akhirnya memang, segala sesuatu yang dipaksakan nggak akan baik, semoga kalau masih jodoh ketemu lagii, di waktu dan kesempatan yang passs

    1. Hahah dibaca semua, Mba 😀 terimakasih banyak sekali loh, mba 😀

      Iyaaaa, kepo perlu, tapi kalau nggak dipost atau tidak dikasi spoiler kan, kita nda tau apa-apa ya wkwkw jadi gimana dong 😀

      Eheheh, bener. Nggak suka lagi sama yang dipaksa-paksakan 😀

  2. Nggak apa Feb, bersyukur aja, dengan begitu kamu jadi terhindar dari ‘salah satu pelarian’ dia ketika renggang atau bahkan putus sama cowoknya. Semangat yaw 🙂

  3. Tulisannya panjang bener, aku baca tentang pilemnya aja ya gpp?

    Aku ngasih 6,5 buat film itu, kekurangannya sama kaya u darimana neh gerombolan alien / monster ini, tapi buatku 6,5 udah bagus kok. Entah kenapa aku diprotes orang2 katanya 6,5 kecil 😥

    Ya kan penilaian w dan rangorang gak kudu sama. Napasi.

    Sekian.

    Oiya lupa, itu tulisan lainnya bahas cinta ya? *nebak* *sotoy* *gak baca* *gpp*

    Dadah.

    1. Hahaha ndapapa atuh, embaaak. bebhassssss 😀

      6.5 yaaa? suda lumayaaaan itu wgwgw. hahaha iya mba, iyaaa, orang-orang yang salah. kamu tidak. iya, mbak. iyaaaaaaa

      Hahaha bukan, tentang cara menanam kangkung kok.

      daaah~

  4. Aaak, pernah baca reviewnya di web Tirto. Katanya bagus. Dan saya SANGAT PENASARAN sama film tersebut.

    😔😔 Uwaw. Kisahmu adl salah satu dari sekian banyak kisah2 php di dunia, tapi tentu kisah Abang Feb ini bukan tak bermakna. Meski manis di tengah dan agak nyesek di ending, ‘novel’ hidupmu masih berlanjut ke season berikutnya.

    Semagat! Pasti ketemu kok sama yang nyambung. Cari aja sampe dapet. 😄😄 Suka tulisanmu, btw. 👍

    1. Baguuuus kok mbaaa 😀 tapi ya itu, genrenya ngagetin wgwggw.

      Hahah masuk di pehape ya brati mbaaa kisah sayanya? ya yasudahlah yaaa. salah satu bagian dari hidup kan yaaa 😀 pokoknya jalan teruuuuus 😀

      Terimakasih banyak sekali ya mba apresiasi atas tulisannya 😀

  5. Bagus tulisannya. Ngalir aja. Bikin betah bacanya. Padahal lumayan panjang lho. Tapi saya tetap pengen baca sampai akhir

  6. Ouuchh aku pikir bakal jadi tokoh baru yang bakal mengisi postingan berikutnya, ternyata cukup disini 😐
    Semangat feb, semoga bertemu dengan orang yang saling menyamankan dengan kamu ya

  7. Aku mau coba lg komen :p. Moga kali ini bisa masuk.

    Itu film a quiet place bikin kapok sih. Aku nyesel nonton krn…… Kenapa anaknya mati, kenapa bpknya matiiiii 😦 . Sempet mau nangis nonton itu. Dan sama feb, aku jg ngiluuuu bgt pas itu kaki ketusuk paku. Lgs mikir, gilaaaaaak tetanus ga itu :D.

    Kalo soal temen ce mu, salut sih, dia blak blakan bgt :p. Tp bgs feb, setidaknya dr awal ga ush terlalu main hati biar ga sakit 😀

    1. Hahaha Mbaaak maap, masuk di spaam. Barusan ngecek spam eheheh.

      Iya kan, a quiet place bikin gimana gitu wgwgw. Pas anak kecilnya mati itu amat sangat disayangkan banget. Pas bapaknya mati juga nggak nyangka, tapi penuh haru. Tapi tetep, ketancep paku itu parah wgwgw.

      Hihihi bener ya mba 😀 blakblakannya dia bagus, tapi agak terlambat wgwgw 😀

    1. Hahaha kamu membacanya hingga selesai, Mba? Wwgwgw kuat juga dirimu wgwgw.

      Terimakasih sudah membaca ya mbaa. Agak seperti Ftv ya mba wgwgwg.

      Lana, nama samaran yang pas ya brati 😀

  8. awalnya aku kira ini sebuah cerita bahagia *sigh*
    ah, tapi aku juga baca post 30HariBercerita itu, jatuh hati sama tulisannya, lalu nge-follow penulisnya

    1. Hahahaaa, tidak mbak. Tida bahagia. Tapi sedikit saja karena cukup bahagia telah mengenal dia wggwgw.

      Kamu baca tulisan dia juga di 30haribercerita? Keren ya 😀 hihihi.

  9. Wah aku juga ikutan 30haribercerita itu feb!
    Ya gimana ya kalau kita udh suka sama tulisan juga penulisnya *eh 😄
    Emang rasa suka bisa muncul karena dipaksa gituh? Haha.
    Penasaran si lana kek mana yaa? *langsung stalking..

Leave a reply to febridwicahya Cancel reply